Islam Tentang Perbudakan

HalalGuide-Budak dalam islam adalah berasal dari tawanan perang fi sabilillah atau keturunannya. Jadi, ia bukan pembantu, TKW, dsb. Sebenarnya Islam tidak mengakui perbudakan. Atau tepatnya tidak menyetujui perbudakan. Islam hanyalah menyikapi perbudakan yang sudah ada jauh sebelum datangnya agama ini. Perbudakan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Pada abad ke 7 dari ujung Eropa, seluruh Afrika, hingga India dan China, tak satupun yang bebas budak. Semua umat manusia telah menerapkan sistem perbudakan. Bukan hanya dalam tatanan sosial, melainkan juga terkait dengan masalah moneter.

Pada saat itulah Islam datang dan secara sistematis melakukan menghilangkan perbudakan melalui syariat Islam. Semuanya kongkrit, bukan sekedar teori yang diseminarkan lalu masuk kotak. Salah satunya lewat bentuk hukuman pelanggran. Banyak sekali pelanggaran yang bentuk hukumannya adalah membebaskan budak. Ini adalah sebuah bentuk win win solution yang belum pernah ditawarkan sistem hukum manapun.

Di dalam Al-Quran kita menemukan beberapa ayat yang menjelaskan hukuman atas pelanggaran tertentu dan bentuknya adalah membebaskan budak.

"maka bayarlah diat yang diserahkan kepada keluarganya serta MERDEKAKAN BUDAK yang beriman" (QS. An-Nisa : 92)

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud , tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau MEMERDEKAKAN SEORANG BUDAK. (QS. Al-Maidah : 89)

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka MEMERDEKAKAN SEORANG BUDAK sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah : 3)

Biasanya dalam sistem hukum buatan manusia, kalau ada pelanggaran maka hukumannya adalah penjara yang hakikatnya adalah pengekangan kebebasan. Sebaliknya, pelanggaran dalam Islam justru hukumannya adalah pembebasan seseorang dari perbudakan. Maka tidak ada yang dizalimi, pelaku pelanggaran tidak hilang kemerdekaannya dan budakpun mendapatkan kemerdekaannya.

Semua pintu ke arah perbudakan telah ditutup rapat-rapat oleh syariat Islam. Sehingga secara perkembangan demografi, angka perbudakan dengan sendirinya akan semakin mengecil dan pada satu titik tertentu akan lenyap dari muka bumi.

Namun selama proses itu, Islam tetap membolehkan para pemilik budak untuk mendapatkan haknya dari budak mereka. Tentu saja dengan tidak boleh menzhalimi, menyiksa, menyakiti atau menganiaya. Alasannya adalah bahwa ketika para tuan memiliki budak, mereka membelinya dengan harga yang tinggi. Sehingga bila pembebasan budak dilakukan dalam sehari, akan runtuhlah sendi-sendi ekonomi masyarakat. Seorang yang punya seratus budak akan tiba-tiba menjadi miskin karena budak itu adalah harta miliknya. Harus ada nilai tukar yang sepadan untuk membebaskan budak begitu saja. Salah satunya adalah dengan pilihan bentuk hukuman.

Selain itu, sistem zakat yang diperkenalkan Islam pun punya andil dalam mengentaskan perbudakan. Sebab salah satu mustahiq zakat adalah para budak yang ingin menebus dirinya dengan uang kepada tuannya. Maka para budak akan mendapatkan harta zakat dari amil zakat untuk tebusan dirinya. Si pemilik budak tidak dirugikan dengan ditebusnya budak miliknya dengan harta yang sepadan.

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, UNTUK BUDAK, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Allah SWT-Taubah : 60)

Dan terakhir adalah membebaskan budak begitu saja sebagai ibadah maliyah sunnah, yaitu bagi mereka yang ingin mendapatkan pahala yang besar disisi Allah SWT. Bukan karena melanggar, juga bukan karena ingin membayar zakat, tapi semata-mata sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT dan keikhlasan.

Maka kalau sejarah mencatat hilangnya perbudakan dari muka bumi, ketahuilah bahwa pembebasan itu dimulai dari pusat-pusat peradaban Islam.

Sumber: syariahonline

Bersedekah

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Sudah menjadi kecenderungannya, manusia amat mencintai materi atau harta yang menjadi miliknya. Di saat lapang saja ia demikian, terlebih lagi di saat sempit. Padahal Islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk bersedekah di saat sulit sekalipun.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapatkan pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 274)

Keutamaan bersedekah sudah kita maklumi. Karena keutamaannya yang besar, syariat yang mulia ini banyak mendorong kita untuk mengeluarkan sedekah. Dorongan tersebut tidak hanya ditujukan kepada lelaki namun juga kepada kaum perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang agung:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (berdzikir), Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

Dalam surah lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan serta meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka dan mereka akan beroleh pahala yang banyak.” (Al-Hadid: 18)

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia pun turut memberi dorongan kepada para wanita untuk bersedekah, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ia bertutur:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ، فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَجَعَلْنَ يُلْقِيْنَ، تُلْقِي الْمَرْأَةُ خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari Idul Fithri dua rakaat dan tidak shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah menyampaikan khutbah kepada hadirin) beliau mendatangi tempat para wanita sementara Bilal menyertai beliau. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. Al-Bukhari no. 964 dan Muslim no. 2054)

Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَالِي مَالٌ إِلاَّ مَا أَدْخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ، فَأَتَصَدَّقُ؟ قَالَ: تَصَدَّقِي وَلاَ تُوْعِي فَيُوْعَى عَلَيْكِ
“Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta kecuali apa yang dimasukkan Az-Zubair kepadaku. Apakah boleh aku menyedekahkannya?’ Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak, niscaya Allah akan menyempitkan rizkimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 2590 dan Muslim no. 2375)

Sampaipun seorang wanita tidak memiliki kelebihan harta ataupun makanan, kecuali sedikit, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memberikan dorongan baginya untuk bersedekah dan tidak menahannya, terutama kepada tetangganya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslimah! Janganlah seorang tetangga meremehkan untuk memberikan sedekah kepada tetangganya, walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 6017 dan Muslim no. 2376)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Janganlah seorang wanita menahan untuk memberi sedekah dan hadiah kepada tetangganya, karena kekurangannya yang ada pada dirinya dan ia meremehkan apa yang hendak diberikannya. Namun hendaknya ia bersifat dermawan, memberi apa yang mudah baginya untuk diberikan walaupun hanya sedikit, seperti sepotong kaki kambing. Itu lebih baik daripada tidak memberi sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Siapa yang beramal kebaikan walaupun hanya seberat semut yang sangat kecil niscaya ia akan melihat balasannya.” (Az-Zalzalah: 7)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Takutlah kalian kepada api neraka walaupun (untuk menjaga diri dari neraka tersebut) kalian hanya dapat bersedekah dengan sepotong belahan kurma1.” (Al-Minhaj, 7/121)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa kaum wanita paling banyak menjadi penghuni neraka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk banyak-banyak bersedekah. Sebagaimana pengabaran Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berikut ini, “Dalam satu hari raya, Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju mushalla (tanah lapang). Beliau melewati para wanita, maka beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah. Karena diperlihatkan kepadaku mayoritas penduduk neraka adalah kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 304)

Kaum wanita diperintah bersedekah karena mayoritas mereka penghuni neraka. Dengan demikian, sedekah yang mereka keluarkan dapat menolak adzab api neraka dari mereka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain juga dengan banyak beristighfar, sebagaimana tambahan dalam riwayat Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الْاِسْتِغْفَرَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun). karena aku melihat mayoritas penduduk neraka adalah kalian.” (HR. Muslim no. 238)

Boleh Bersedekah kepada Suami dan Anak
Sedekah yang utama adalah yang diberikan kepada kerabat terdekat. Karenanya, seorang wanita boleh memberikan sedekah kepada suaminya, bahkan mengeluarkan zakatnya untuk suaminya, bila memang suami termasuk orang yang berhak memperolehnya, dari kalangan orang-orang yang tersebut dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang terlilit hutang, untuk fi sabilillah, dan ibnu sabil (musafir)….” (At-Taubah: 60)
Ini merupakan pendapat jumhur ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu dalam Subulus Salam (4/67).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata, “Ulama berdalil dengan hadits ini (hadits Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha yang akan disebutkan setelah ini, pent.) untuk membolehkan seorang wanita memberikan zakatnya kepada suaminya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, dua murid Abu Hanifah, dan salah satu dari dua riwayat Al-Imam Malik dan Al-Imam Ahmad.” (Fathul Bari, 3/415)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, “Secara zahir, boleh bagi istri menyerahkan zakatnya kepada suaminya. Pertama, karena tidak ada larangan dalam hal ini. Dan siapa yang mengatakan tidak boleh, hendaklah ia mendatangkan dalil. Kedua (dalam hadits Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak minta perincian2. Berarti, sedekah di sini keberadaannya umum (mencakup yang sunnah dan yang wajib). Tatkala beliau tidak meminta perincian tentang sedekah tersebut apakah sifatnya sunnah ataukah wajib, seakan-akan beliau menyatakan (kepada Zainab), ‘Boleh bagimu memberikan sedekah kepada suamimu, sama saja baik sedekah yang fardhu (yaitu zakat, pent.) atau yang sunnah’.” (Nailul Authar, 4/224)

Zainab Ats-Tsaqafiyyah, istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, pernah minta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika disebutkan nama Zainab di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya:
أَيُّ الزَّياَنِبِ؟ فَقِيْلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُوْدٍ. قَالَ: نَعَمْ، ائْذنُوا لَهَا. فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِّيٌ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ. فَقَالَ النَّبِيُّ n: صَدَقَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيهِمْ
“Zainab yang mana?” Dijawab, “Istri Ibnu Mas’ud.” Beliau berkata, “Iya, izinkan dia masuk.” Maka diizinkanlah Zainab, ia bertanya, “Wahai Nabiyullah! Engkau hari ini memerintahkan kami bersedekah. Aku memiliki perhiasan, aku ingin menyedekahkannya. Namun Ibnu Mas’ud menganggap bahwa dirinya dan anaknya adalah orang yang paling pantas memperoleh sedekahku itu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Benar kata Ibnu Mas’ud, suami dan anakmu adalah orang yang paling pantas mendapatkan sedekahmu tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 1462)

Dalam riwayat lain disebutkan, Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ. وَكَانتْ زَيْنَبُ تُنْفِقُ عَلَى عَبْدِ اللهِ وَأَيْتَامٍ فِي حِجْرِهَا. فَقَالَتْ لِعَبْدِ اللهِ: سَلْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْكَ وَعَلَى أَيْتَامِي فِي حِجْرِيْ مِنَ الصَّدَقَةِ؟ فَقَالَ: سَلِي أَنْتِ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم. فَانْطَلَقْتُ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدْتُ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ عَلَى الْبَابِ، حَاجَتُهَا مِثْلُ حَاجَتِيْ. فَمَرَّ عَلَيْنَا بِلاَلٌ، فَقُلْنَا: سَلِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَى زَوْجِي وَأَيْتاَمٍ لِي فِي حِجْرِي. وَقُلْنَا: لاَ تُخْبِرْ بِنَا. فَدَخَلَ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مَنْ هُمَا؟ قَالَ: زَيْنَبُ. قَالَ: أَيُّ الزَّياَنِبِ؟ قَالَ: امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ. قَالَ: نَعَمْ، وَلَهَا أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Aku pernah berada dalam masjid, ketika itu aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersedekahlah kalian (para wanita) walaupun dengan perhiasan kalian.’ Sementara Zainab biasa memberikan infak kepada Abdullah dan anak-anak yatim yang berada dalam pengasuhannya. Zainab berkata kepada Abdullah, ‘Tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah boleh bagiku memberikan infak kepadamu dan kepada anak-anak yatim yang dalam asuhanku?’ Abdullah berkata, ‘Kamu saja yang bertanya kepada Rasulullah.’ Aku pun pergi ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di depan pintu aku menjumpai seorang wanita dari kalangan Anshar, keperluannya (permasalahannya) sama dengan keperluanku. Ketika itu Bilal melewati kami, maka kami pun memanggilnya dan meminta kepadanya, ‘Tanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah boleh bagiku memberikan infak kepada suamiku dan kepada anak-anak yatimku yang dalam asuhanku?’ Kami juga berpesan, ‘Jangan engkau beritahu kepada Nabi siapa kami berdua.’ Bilal pun masuk ke tempat Nabi dan bertanya kepada beliau. Setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Siapa dua wanita yang bertanya itu?’ Bilal menjawab, ‘Zainab.’ ‘Zainab yang mana?’ tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bilal menjawab, ‘Istri Abdullah.’ ‘Iya, boleh dan ia akan mendapatkan pahala karena menyambung hubungan kekerabatan dan pahala sedekah’.” (HR. Al-Bukhari no. 1466 dan Muslim no. 2315)

Suatu ketika Ummul Mukminin, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلِيَ أَجْرٌ أَنْ أُنْفِقَ عَلَى بَنِي أَبِي سَلَمَةَ، إِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ. فَقاَلَ: أَنْفِقِي عَلَيْهِمْ، فَلَكِ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ
“Apakah aku mendapatkan pahala bila aku memberikan infak kepada anak-anak Abu Salamah3? Mereka itu anak-anakku sendiri.” Rasulullah bersabda: “Berilah infak kepada mereka, engkau akan mendapatkan pahala karena memberikan infak kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 1467 dan Muslim no. 2317)

Boleh Bersedekah dengan Sesuatu yang Ada di Rumah Suami
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَنْفَقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ، كاَنَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ
“Apabila seorang wanita menginfakkan makanan yang ada di rumahnya tanpa merusak, maka ia akan beroleh pahala atas apa yang diinfakkannya. Demikian pula suaminya mendapatkan pahala dengan apa yang ia usahakan.” (HR. Al-Bukhari no. 1437, 1441 dan Muslim no. 2361)

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: غَيْرَ مُفْسِدَةٍ (tanpa merusak) diterangkan maknanya oleh Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu yaitu tidak berlebih-lebihan dalam infak tersebut, tidak menimbulkan kemudaratan serta tidak menghabiskan harta. (Subulus Salam, 4/65)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا أَنْفَقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهَا نِصْفُ أَجْرِهِ
“Apabila seorang wanita berinfak dari penghasilan suaminya tanpa diperintahkan oleh suaminya maka ia beroleh setengah pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 2066 dan Muslim no. 2367)

Dari hadits di atas, kita pahami bahwa seorang istri boleh berinfak dengan harta suami walaupun tanpa seizinnya. Namun yang jadi permasalahan, terdapat hadits yang menyelisihi hal ini, yaitu hadits Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya pada tahun haji Wada’:
لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا
“Seorang wanita tidak boleh menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, walaupun makanan?” Beliau menjawab, “Makanan adalah harta kita yang paling utama.” (HR. At-Tirmidzi no. 670, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Ketahuilah, bila seorang pekerja yaitu khazin (penjaga harta tuannya), istri dan budak ingin menginfakkan harta tuan/suaminya, ia harus mendapatkan izin dari si pemilik harta (atau suami) terlebih dahulu. Bila sama sekali tidak ada izinnya maka tidak ada pahala yang didapatkan oleh ketiga golongan tersebut. Bahkan ketiganya berdosa karena menggunakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Yang namanya izin ada dua macam, pertama: izin yang sharih (jelas) dalam nafkah dan sedekah. Kedua: izin yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberi sepotong roti kepada peminta-minta, dari kebiasaan yang biasa berlangsung. Dan diketahui menurut kebiasaan bahwa suami dan pemilik harta ridha. Dengan begitu diperoleh izinnya walaupun ia tidak mengucapkannya. Hal ini tentunya bila diketahui keridhaannya menurut kebiasaan serta diketahui bahwa jiwanya sebagaimana jiwa kedermawaan dan keridhaan sebagaimana keumuman orang-orang. Bila kebiasaannya tidak tetap dan diragukan keridhaannya atau si pemilik harta/suami itu seorang yang pelit, dan itu diketahui atau diragukan dari keadaannya, maka tidak boleh seorang istri dan selainnya menggunakan hartanya (untuk diinfakkan kepada yang membutuhkan) kecuali mendapatkan izin yang sharih (jelas) darinya. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَ مَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
“Apabila seorang istri berinfak dari penghasilan suaminya tanpa diperintahkan oleh suaminya maka setengah pahalanya untuk si suami.”

Maknanya, tanpa perintahnya yang sharih dalam kadar tertentu dari hartanya yang telah diinfakkan tersebut. Namun si istri dulunya telah mendapatkan izin yang umum yang mencakup kadar tersebut dan selainnya.”
Al-Imam An-Nawawi juga menyatakan, “Ketahuilah, semua pengeluaran infak dari harta suami tanpa izinnya yang sharih adalah sebatas kadar yang ringan, yang menurut kebiasaan ia ridha hartanya diberikan dalam kadar yang demikian. Bila kadarnya sampai melebihi kebiasaan, maka tidaklah dibolehkan. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِذَا أَنْفَقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَة. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan kepada kadar yang diketahui bahwa suami ridha bila hartanya diberikan sejumlah demikian menurut kebiasaan.” (Al-Minhaj, 7/114-115)

Al-Imam Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Manusia berbeda dalam dua pendapat dalam menjelaskan hadits ini. Di antara mereka ada yang mengatakan istri boleh menginfakkan harta suaminya dalam kadar yang ringan/sedikit yang tidak berpengaruh bila dikeluarkan dari harta yang ada, dan tidak begitu tampak pengeluarannya. Pendapat kedua, istri boleh menginfakkan harta suaminya bila suaminya telah mengizinkannya. Ini pendapat yang dipilih Al-Imam Al-Bukhari t. Adapun menurutku, hal itu mungkin dibawa kepada kebiasaan yang ada. Bila si istri tahu bahwa suaminya tidak benci/marah hartanya diberikan atau disedekahkan maka ia boleh melakukannya selama tidak menghabiskan harta tersebut.”
Ibnul Arabi rahimahullahu menjelaskan bahwa makna غَيْرَ مُفْسِدَةٍ mengharuskan adanya izin suami secara sharih ataupun secara kebiasaan. Juga menunjukkan bahwa pemberian tersebut adalah pemberian yang ringan/sedikit yang tidak menghabiskan harta. (‘Aridhatul Ahwadzi bi Syarhi Shahih At-Tirmidzi, 3/143, 144)

Istri Boleh Menyedekahkan dan Menghibahkan Milik Pribadinya tanpa Izin Suami

Hal ini merupakan pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama yang dilandasi dengan dali-dalil yang shahih. Di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang telah lewat penyebutannya, tentang para wanita yang menyedekahkan perhiasan mereka ketika dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersedekah. Demikian pula hadits Asma` bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma.
Ummul Mukminin, Maimunah bintu Al-Harits radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa ia pernah memerdekakan budak perempuannya tanpa meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika hari gilirannya, ia berkata kepada suaminya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah anda tahu, wahai Rasulullah, bahwa saya telah memerdekakan budak perempuan saya?” “Apakah engkau telah melakukannya?” tanya beliau meminta kepastian. “Iya,” jawab Maimunah. Beliau bersabda memberikan bimbingan:
أَمَّا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمُ لِأَجْرِكِ
“Adapun kalau budak perempuanmu itu engkau berikan kepada kerabat-kerabatmu dari pihak ibumu niscaya lebih besar pahalanya bagimu (daripada engkau merdekakan, pent.).” (HR. Al-Bukhari no. 2592 dan Muslim no. 2314)

Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Maimunah memerdekakan budaknya tanpa seizin suaminya. Ia baru menceritakannya setelah itu. Namun suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menyalahkannya, hanya saja beliau memberikan bimbingan kepada Maimunah andai ia melakukan yang lebih utama, yaitu tidak memerdekakan budak tersebut tapi menghadiahkannya kepada kerabatnya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:

1 HR. Al-Bukhari dan Muslim
2 Ketika ditanya sehubungan dengan masalah Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha, apakah seorang istri boleh memberikan sedekahnya kepada suaminya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kebolehannya tanpa mempertanyakan apakah sedekah tersebut sedekah yang sunnah atau sedekah yang wajib (zakat).
3 Suaminya yang telah meninggal dunia.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=669

Jauhi Buruk Sangka

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)

Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)

Dari hadits:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)

Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)

Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)

Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:
1 Lafadz hadits yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=695